Menggamit Ke(tak)adilan yang Mencekik

Judul                : Mastodon dan Burung Kondor

Penulis              : WS. Rendra

Editor kreatif    : Dwi Klik Santosa

Penerbit            : Burung Merak Press, Jakarta

Cetakan           : Pertama, Agustus 2011

Tebal                : 131 Halaman

Ignas Kleden, sosiolog yang juga penyuka lirik kata dan lakon pementasan karya-karya teater Rendra itu (baik yang asli karya Rendra maupun saduran) pernah menulis, ”Siapa yang sempat mengikuti sajak-sajak Rendra, atau menonton teaternya, tak bisa mengelak kesan bahwa sebagai penyair perhatiannya terhadap masalah kekuasaan mungkin lebih luas dari para politisi, dan keterlibatannya dalam masalah kemasyarakatan mungkin lebih intens dari para ahli ilmu sosial” (Rendra Ia Tak Pernah Pergi, Jakarta: KOMPAS, 2009).

Tentu Ignas tak sedang mengumbar kekagumannya terhadap Rendra, sosok yang memang dia sukai itu. Rendra adalah pegiat sastra tulis dan sekaligus seni panggung teater moderen di Indonesia yang meyakini bahwa kesenian adalah jalan menelusuri kesadaran. Kesenian adalah produk kebudayaan yang tak berjarak dengan realitas inangnya. Kesenian adalah representasi kesekian dari mentalitas kebudayaan itu sendiri. Pada titik ini Rendra sepertinya meyakini determinasi kultur terhadap interpretasi seni dan berkesenian. Jika ia mengajukan preskripsi yang tendensius (pamfletis) tak berarti Rendra sedang menggiatkan seni dan kesenian sebagai tindakan politik —sungguhpun pada gilirannya teramat rumit untuk tidak menautkan antara keduanya.

Rendra tak hendak mengalihkan kerja seninya sebagai praktik politik formal prosedural. Dia lebih hendak mencatat, memungut teks sosial yang tercerai berai, lalu memaknainya. Toh memang tak ada teks sosial politik yang bebas nilai —dia adalah pertautan dari sekian banyak fenomena yang bertabur nilai dalam satu arena yang sama, yakni proses kebudayaan. Bahwa karyanya lekat berhimpitan dengan teks politik, rasanya itu karena Rendra dengan sengaja memang hendak menawarkan imbuhan pertimbangan-pertimbangan nilai tertentu terhadap proses politik yang tengah menggelinding. Tak peduli apakah dia sedang menawarkan interpetasi demokrasi, kebebasan, keadilan atau malah sedang terjerumus pada sebuah keyakinan tertentu yang cenderung miopis.

Justru karena kesenian dalam tafsiran Rendra diterjemahkan sebagai sebuah ikhtiar kebudayaan itu lah, kesenian menjadi sedemikian rupa problematis. Jika kesenian adalah perangkat kebudayaan itu sendiri, maka kreatifitas berkesenian serta merta merupakan teks politik yang hidup. Dia tidak lagi berada di singgah sana ide-ide pembebasan, tetapi sudah menjadi alat pembebasan. Estetika dan etika kesenian pada gilirannya juga bertansformasi menjadi gerakan politik, setidaknya dalam taraf memproduksi wacana di tengah arus pemikiran politik. Apakah dia sekadar menjadi wacana tanding atau hendak menawarkan wacana baru, itu lain perkara.

Jauh dari maksud menggurui, tetapi lebih pada upaya merenungi fenomena kebudayaan itu sendiri. Tak juga hendak sekadar menyuguhkan penghiburan, kesenian Rendra adalah bagian dari upaya pelibatan diri memengaruhi proses kebudayaan. Gemuruh tempik sorak, puja-puji purba kata terhadap Rendra, mestinya juga ditujukan oleh karena misi keseniannya bergayung dengan nalar publik, bersenyawa dengan jiwa massa, bukan semata-mata karena keelokan kesenian. Watak merdeka memang kadung menjadi identitas yang dominan dalam pribadi Rendra.

Buku yang tak lain tak bukan merupakan naskah lakon teater Bengkel Teater Rendra ini ditulis oleh Rendra dalam rentang tahun 1971-1973 di Jogjakarta. Lakon ”Mastodon Dan Burung Kondor” kali pertama dipanggungkan di Jogjakarta, Bandung dan Jakarta pada 1973 setelah melewati proses perijinan dan kerumitan politik stabilitas dan keamanan rejim otoriter-birokratik Orde Baru pada masa itu. Kita sudah sering mendengar kerumitan perijinan bagi ikhtiar pemanggungan kesenian kreatif pada masa rejim militer Orde Baru. Pun tak penting menjelaskan mengapa itu terjadi (dalam kertas ini). Setelah 38 tahun berselang kemudian, lakon ”Mastodon Dan Burung Kondor” kembali dipanggungkan di GBB TIM pada 11-14 Agustus 2011 dalam panji Ken Zuraida Project.

Lakon ”Mastodon Dan Burung Kondor” ini mengisahkan pergulatan sosial politik dengan latar sejarah Amerika Latin yang rakyatnya tengah didera semacam kebuntuan politik yang akut. Bisnis keuangan jatuh ke tangan begundal birokrat dan pengutil ekonomi. Korupsi merajalela. Di banyak jengkal perkampungan, rakyat menjerit dan mengeluhkan akan mahalnya harga pangan, pendidikan dan kesehatan serta pengangguran. Cita rasa keadilan sosial menjadi sedemikiran rupa pelik, kehidupan menjadi pengap, syak wasangka menjadi nafas keseharian. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai dengan pemberangusan kehendak rakyat itu berganti wajah menjadi murka durjana. Wal hasil legitimasi politik penyelenggara kekuasaan terjerumus dalam kebangkrutan yang paling puncak.

Jose Karosta, sosok yang dicitrakan sebagai mesiah, seorang penyair, representasi yang tak lain tak bukan adalah sosok Rendra itu sendiri hadir menyuarakan kesaksian sejarah. Kebangkrutan politik itu dengan segera memicu intrik dan pertikaian politik antara kaum reaksioner pro-pembangunan, pro-ketertiban sosial, pro-keamanan di satu pihak, berhadapan dengan kaum ekstrem-revolusiober yang mencitakan keadilan, kebebasan, kemajuan dan penghormatan hak individual warga negara. Kaum penguasa menjadi lalim dan lupa akan mandatnya sebagai penyelenggara kedaulatan rakyat. Pembangunan ekonomi menjadi takhayul yang disandingkan dengan politik stabilitas, tertib sosial dan keamanan semesta. Kedaulatan rakyat terkoyak, keadilan dirampas, kebebasan berserikat-berkumpul-berpendapat disangkal.

Di tengah kebangkrutan politik rejim militer, sekelompok kaum cerdik pandai, kaum terpelajar perkotaan, kaum universitas berkumpul dan bergerak melawan penguasa lalim. Juan Frederico, sang tokoh pergerakan, bersekutu menyamakan pikiran dan menyepakati perlawanan politik bersama kaum revolusioner lainnya. Siasat perjuangan disepakati dan agenda politik ditetapkan: menggulingkan pemerintahan yang sedang bercokol melalui revolusi, pemerintahan baru akan dilahirkan dan kekuasaan baru lah cita-cita kaum ekstrem-revolusioner itu.

Jose Karosta adalah bagian dari rakyat jelata dan ketertindasan itu sendiri. Jose Karosta mencitakan sebuah peradaban baru dengan perubahan alamiah, bukan revolusi seperti yang dicitakan oleh kaum ekstrem-revolusioner kampus nan culas itu. Jose Karosta, demikian manifesto Rendra, ”Katakan pada Juan Frederico, aku tidak mau mengikuti jejak orang fanatik. Aku percaya pada jalannya perubahan berdasarkan perkembangan kematangan kesadaran. Perubahan yang mendadak yang ditimbulkan oleh revolusi hanya akan menghasilkan perubahan semu. Bajunya saja yang ganti, jiwa orangnya tetap sama.  Semula mereka adalah gerilyawan. Tetapi kalau satu saat nanti dia menang, dia akan menjadi penguasa, penjajah baru” (hlm. 47; ada improvisasi dalam panggung).

Mastodon adalah representasi simbolik dari penguasa lalim, dan burung Kondor adalah lambang mereka yang didzalimi, yang dinistakan. ”Mastodon Dan Burung Kondor” memang lakon berlatar sejarah Amerika Latin, tetapi kejumudan persoalan dalam ”Mastodon Dan Burung Kondor” juga menghantui sejarah politik Indonesia kontemporer, bahkan mungkin hingga kini (minus praktik represif tentara). Sinkronisme historis macam ini lah yang justru membuka ruang permenungan atas pergulatan politik Indonesia kontemporer yang juga tak kunjung usai didera macam ragam petaka. Korupsi politik, parlemen yang tak becus, kemiskinan, bencana alam, pengangguran, dan ketidakadilan yang pengap meresapi praktik gerakan politik menuntut perubahan di sisi lain. Indonesia kontemporer layaknya tengah menggamit ke(tak)adilan yang mencekik. Sejarah belum beranjak terlalu jauh sesungguhnya.

Rendra sudah beranjak pulang ke sang khalik sejak dua tahun silam, 6 Agustus 2009. Rendra dan komunitas Bengkel Teater Rendra juga mewariskan semangat realisme berkesenian dalam lakon yang total, semangat seni panggung yang membuncah kesadaran. Tapi apakah bisa seorang Rendra maupun komunitasnya dalam Ken Zuraida Project sanggup melakoni ambiguitas interpretatif antara kesenian dan praktik politik? Pertanyaan semacam ini sungguh tidak penting dicarikan jawabnya. Bukan karena tak ada perangkat akademik yang bisa menjelaskannya, namun itu justru hanya akan mereproduksi pembantahan-pembantahan baru. Rendra tak berpretensi untuk masuk dalam traktat akademik tertentu. Dia hanya mau berpikir dan berkarya dalam penuh kesadaran melalui kesenian.***

| Joko Banar

Penulis lepas tinggal di Jakarta



Tinggalkan komentar