Plagiasi

Seperti juga dunia kehidupan yang menggelinding sehari-hari, dunia akademik, tegasnya kehidupan kaum terpelajar-perkotaan, dunianya kelas menengah, pun dinaungi persoalan-persoalan khas. Ada doktor lulusan Universitas Pennsylvania Amerika kedapatan menjiplak karya orang lain lalu berdalih sebagai “kesalahan teknis” sehingga dia tetap merasa bak cendikiawan nan agung; ada orang yang entah bagaimana ceritanya tiba-tiba beroleh anugerah gelar Profesor; ada mahasiswi yang frustrasi gara-gara tak bisa ketemu dosen pembimbing thesisnya akibat sibuk mengurus proyek Bank Dunia; dan seterusnya dan sebagainya.

 

Sesungguhnya tidak ada perkara kehidupan ini yang terjadi “tiba-tiba”, “sekonyong-konyong”; yang terjadi tanpa ujung pangkal. Semua bergerak dalam keberaturan yang tangga-tangga dramatiknya jelas.


Perkampungan Segregatif

Jauh haris sebelum Ambon tumbuh menjadi kota, sudah mengenal pola pemukiman segregatif. Pemilahan permukiman berdasar agama, etnisitas dan profesi —karenanya ada kampung Bugis, Melayu, Jawa, kampung nelayan, kampung kristen, kampung muslim dll. Penyebutannya bisa tidak secara zakelijk, tetapi orang tahu bahwa ini kampung muslim, itu kampung kristen, di sana kampung Jawa, di sebelah sana lagi kampung Bugis dst dsb. Pola permukimana seperti ini jelas sekali menyimpan ”tension” (pemecah) tetapi sekaligus ”connector” (pemersatu). Orang bisa saja beda ethnis, tetapi dipersatukan oleh kesamaan iman dst dsb. Namun sekalipun mereka dipersatukan oleh kesamaan bahasa, tetapi berbeda iman, mereka tampak lebih sulit bersatu. Ini terjadi pada sebagiam orang Ambon-kristen dan Ambon-muslim. Ada kejadian di Ambon sejak 1980-an persaingan dagang antar pedagang telah membawa kelahiran semangat anti-Jawa. Yang menarik bahwa pedagang Jawa ini tidak memikirkan bagaimana cara membalas atau menandingi sentimen etnis anti-Jawa itu. Mereka justru memikirkan untuk segera bermigrasi dan mengembangkan daerah perdagangan baru. Sekelompok pedagang etnis Jawa ini perlahan-lahan bermigrasi ke Ternate (kawasan muslim) dan mengembangkan perdagangan. Hingga kini pedagang etnis Jawa (selain orang Bugis dan Arab) di Ternate ini lah yang menjadi penggerak distribusi dan retail ekonomi riil di Ternate.


Makam Semaki Dirusak Orang Tak Dikenal

Rejim Orde Baru adalah suri tauladan yang sempurna untuk praktik-praktik teror negara terhadap rakyat. Hampir 20 tahun mereka tumbang, tetapi tidak warisannya yang satu itu. Di tangan generasi muda penggiat teror, dia mengalami pembaruan. Generasi muda ini memasukkan teror dalam semesta simbolik yang lebih rumit. Jika musuh fisik tidak bisa ditemukan, maka “musuh simbolik” pun diciptakan. Sekelompok orang merusak makam kerabat Sultan HB VI. Mereka bilang “syirik”, “haram”. Makam kerabat Sultan HB VI adalah perkara kewibawaan dan martabat, adapun klaim ”syirik” dan ”haram” adalah preferensi ortodoksi tertentu. Dua-duanya merepresentasikan sub-kultur yang pendukungnya sama besar. Tidakkah disadari, bahwa mereka memasuki arena politik yang ”besar”, ”mahal” dan juga ”mengerikan”?


Mencatat Vicky Prasetyo

Perihal yang paling mendasar dalam “kaidah” adalah akibat yang terjadi jika seseorang mengabaikan kaidah itu. Di antara banyak kaidah yang ada, kaidah berbahasa sepertinya tak bisa serta merta disejajarkan dengan kaidah berlalulintas. “Dilarang menerabas palang pintu kereta api ketika kereta lewat” pada kaidah berlalu lintas tegas memiliki beban resiko kepada siapa saja yang melanggarnya. Sementara “susunlah kalimat sempurna dengan pola subjek, predikat, objek” pada kaidah berbahasa nyaris tak menyiratkan resiko yang mencekam. Tapi saya kira sedikit saja orang yang nekat berbahasa ngawur di depan corong publik —kecuali dia kuat dengan cemooh atau tuduhan “pandir”.

 

Aku rasa kita sedang membincang apa yang disebut dengan hegemoni (tentu dalam lensa bahasa-komunikasi). Di banyak kalangan akademisi, mereka manggut-manggut saja mencoba memahami kerumitan bahasa jika itu ditulis oleh Clifford Geertz atau Samuel P Hantutington (Huntington) misalnya. Orang yang saya sebut namanya ini cenderung bertele-tele jika berbahasa. Banyak penjelasan Geertz yang saya yakin bahwa saya tak seutuhnya paham (hingga kini bahkan). Berhubung yang menulis adalah sarjana (sebutlah kampiun) lalu orang mahfum saja. Malah di sebagian kalangan muncul sikap “sok” hebat jika sudah membaca teks-teks rumit bertele-tele macam itu.

 

Kini giliran ada orang berbahasa rumit, bertele-tele, bleketrek, lalu ramai-ramai dicemooh —mentang-mentang yang bicara adalah orang tak berpendidikan tinggi, bukan sarjana kampiun, bukan sarjana penerima full bright scholarship. Ini bukan kebetulan, tetapi sepertinya sekedar menunjukkan bahwa sebagian dari kaum akademisi, sebagian kelas menengah (kaum terpelajar perkotaan) yang ada di fb ini berwatak cerewet (mungkin juga diskriminatif).